Kesehatan Mental Itu Nyata: Jangan Diam, Mari Bicara


Kesehatan mental merupakan komponen penting dari kesejahteraan manusia, namun sering kali terabaikan dalam sistem pelayanan kesehatan, terutama di tingkat primer seperti Puskesmas. Artikel ini membahas pentingnya kesehatan mental, stigma yang melekat pada gangguan psikologis, serta pentingnya deteksi dini dan intervensi berbasis komunitas. Disarankan pendekatan integratif dan promotif untuk memperkuat peran tenaga kesehatan dalam memberikan edukasi, skrining, dan rujukan yang tepat.

Di balik senyuman seseorang, tidak jarang tersembunyi beban pikiran yang tidak terlihat oleh mata. Masalah kesehatan mental kerap dianggap hal sepele, padahal dampaknya bisa sama berat, bahkan lebih berbahaya daripada penyakit fisik. Menurut WHO, satu dari delapan orang di dunia hidup dengan gangguan mental, dan angka ini diperkirakan terus meningkat pasca pandemi COVID-19. Di Indonesia, 

Kesehatan Mental: Definisi dan Spektrum

Kesehatan mental adalah kondisi di mana individu mampu mengelola stres, bekerja secara produktif, dan berkontribusi di masyarakat. Gangguan kesehatan mental bisa bersifat ringan, seperti kecemasan sementara, hingga berat seperti depresi mayor, skizofrenia, dan gangguan bipolar.

Tiga domain penting dalam kesehatan mental:

  1. Emosi yang stabil: merasa tenteram, tenang, dan mampu merespon tekanan hidup dengan sehat.

  2. Kognitif yang sehat: mampu berpikir jernih, membuat keputusan, dan fokus.

  3. Perilaku yang adaptif: mampu membentuk hubungan sosial yang sehat dan menyelesaikan masalah.

Tantangan: Stigma dan Minimnya Kesadaran

Meskipun kesehatan mental mulai diperbincangkan, namun stigma negatif masih sangat kuat, terutama di lingkungan keluarga dan komunitas.

Bentuk stigma umum:

  • Menganggap gangguan mental sebagai “kurang ibadah” atau “kesurupan”
  • Menyembunyikan anggota keluarga yang memiliki gangguan
  • Enggan mencari bantuan profesional karena malu

Akibat stigma, banyak penderita memilih diam daripada berbicara dan meminta tolong. Diam itu berbahaya. Karena seperti luka fisik yang dibiarkan, luka batin pun bisa membusuk dalam senyap.


Faktor Risiko Gangguan Mental di Indonesia

Beberapa faktor yang memperburuk kondisi kesehatan mental masyarakat Indonesia antara lain:

  • Kemiskinan dan tekanan ekonomi
  • Pengangguran atau kehilangan pekerjaan
  • Lingkungan sosial yang tidak suportif
  • Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perundungan
  • Kurangnya waktu berkualitas bersama keluarga
  • Ketergantungan pada media sosial dan isolasi sosial

Anak-anak dan remaja juga tidak luput dari risiko ini, terutama di era digital yang penuh tekanan untuk tampil sempurna.


Peran Puskesmas dalam Menangani Kesehatan Mental

Sebagai layanan primer, Puskesmas menjadi garda terdepan dalam menjangkau masalah psikologis masyarakat. Namun, hingga kini, program kesehatan jiwa masih bersifat terbatas dan belum merata di seluruh daerah.

Beberapa langkah yang bisa diperkuat oleh Puskesmas antara lain:

1. Skrining Dini dan Promosi Kesehatan Mental

  • Menggunakan instrumen sederhana seperti SRQ-20 untuk deteksi dini gangguan mental
  • Memberikan edukasi saat posyandu, penyuluhan di sekolah, atau saat kunjungan rumah

2. Pelatihan Tenaga Kesehatan

  • Tenaga kesehatan (perawat, bidan, dokter umum) perlu dibekali pelatihan psikologi dasar agar mampu melakukan konseling awal
  • Melibatkan kader kesehatan sebagai penggerak edukasi mental di komunitas

3. Rujukan dan Kerjasama Lintas Sektor

  • Menyediakan jalur rujukan ke psikolog atau psikiater jika ditemukan kasus berat
  • Bekerjasama dengan Dinas Sosial, sekolah, tokoh agama, dan lembaga swadaya untuk membangun lingkungan yang ramah jiwa

Mari Bicara: Gerakan yang Menyembuhkan

Menyembuhkan luka mental tidak selalu harus dengan obat. Terkadang, bicara dengan orang yang kita percaya adalah langkah awal yang paling menyelamatkan. Inilah mengapa gerakan "Jangan Diam, Mari Bicara" sangat penting.

Manfaat mengungkapkan perasaan secara terbuka:

  • Mengurangi beban psikologis
  • Meningkatkan rasa diterima dan dimengerti
  • Membantu individu memahami akar masalah
  • Mencegah tindakan ekstrem seperti menyakiti diri sendiri atau bunuh diri

Penting untuk menciptakan lingkungan suportif di rumah, sekolah, tempat ibadah, dan tempat kerja. Menjadi pendengar yang baik bisa jadi intervensi pertama yang menyelamatkan nyawa.

Pandemi dan Kesehatan Mental: Lonjakan yang Nyata

Sejak pandemi COVID-19, lonjakan gangguan kecemasan dan depresi meningkat drastis. Isolasi sosial, ketidakpastian ekonomi, serta kehilangan orang yang dicintai menjadi faktor utama. Sayangnya, akses ke layanan kesehatan jiwa belum sebanding dengan kebutuhan.

WHO bahkan menyatakan bahwa kesehatan mental adalah krisis global yang mendesak dan perlu mendapat perhatian sebanding dengan penyakit fisik menular dan tidak menular.

Kesehatan mental adalah kenyataan yang tak dapat diabaikan. Dalam masyarakat yang masih memprioritaskan kesehatan fisik, sudah saatnya kita menyetarakan perhatian dan kepedulian terhadap gangguan jiwa. Diam bukan solusi. Bicara adalah langkah awal menuju pemulihan.

Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat harus mengambil peran aktif, tidak hanya dalam skrining dan rujukan, tetapi juga menciptakan ruang yang aman bagi siapa pun untuk mengungkapkan keluh kesah tanpa takut dihakimi.


Penulis: Azwar, AMK (Staf Kesehatan Jiwa Puskesmas Meurah Mulia)


No comments

Powered by Blogger.